jump to navigation

258 Tahun Perjanjian Giyanti: Ngayogyakarta di Bawah Ketiak Belanda February 13, 2013

Posted by tintabiru in Serbaneka.
add a comment

Perjanjian Giyanti menjadi babak akhir Kerajaan Mataram Islam dan babak baru Kasultanan Ngayogyakarta. Meski secara administrasi terlihat menguntungkan Ngayogyakarta, namun secara politik, perjanjian ini mengokohkan cengkeram Belanda di Jawa.

Tepat 258 tahun lalu, pada Kamis Kliwon, 13 Februari 1755, momen penting yang menandai babak baru perjanjian Giyanti, yang ditandatangani Pangeran Mangkubumi dengan Gubernur VOC untuk Jawa Utara, N. Hartingh.

Dari naskah perjanjian itulah, Mataram akhirnya terbagi dua. Wilayah timur berkedudukan di Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan, diberikan kepada Sunan Pakubuwono III, dan wilayah barat menjadi pusat pemerintahan Kasultanan berkedudukan di Yogyakarta, diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubowono I.

Penandatanganan Perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi dan Nicolaas Hartingh dari pihak VOC. Tidak dilibatkannya Paku Buwono III saat penandatanganan sebagai bagian dari strategi VOC untuk mengadu domba pihak-pihak di Kerajaan Mataram, sekaligus meredam perlawanan Pangeran Mangkubumi.

Di lain pihak, Pangeran Mangkubumi juga cukup percaya pada wangsit yang diterimanya, bila Belanda akan segera hengkang dari Ngayogyakarta. Sehingga agenda politik VOC tidak terlalu diperhatikannya.

Meski ada beberapa persoalan yang melingkupi Perjanjian Giyanti, penguasa Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta akhirnya bertemu dan saling menerima pembagian yang dilakukan Belanda.

Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi baru bertemu dua hari kemudian (15 Februari 1755) di Lebak Jatisari untuk penyerahan keris Kanjeng Kyai Kopek.

Setelah itu, pada Kamis Pon, 13 Maret 1755 dilaksanakan Proklamasi Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Selanjutnya, Sultan Hamengkubowono I mesanggrah⁠ di pesanggarahan Ambarketawang, pada Kamis Pon, 9 Oktober 1755.

Babak selanjutnya adalah peresmian Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ditandai masuknya Sultan Hamengkubowono I bersama keluarga ke Kraton Yogyakarta dari arah selatan pada Kamis Pahing 7 Oktober 1756. Peristiwa ini ditandai sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal, yang terukur di Banon Kelir Regol Magangan⁠ dan Ragol Gandhung Mlanthi⁠.

Sultan Hamengkubowono I pun berkuasa, dan menurut Perjanjian Giyanti, memperoleh hak 53.100 karya (cacah⁠) negaragung⁠ dan 33.950 karya (cacah⁠) mancanegara. Wilayah mancanegara di bawah Kasultanan Ngayogyakarta meliputi Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras Karang (Ngawen), Sela Warung (Kuwu Wirasari) dan Grobogan.

Setelah naskah perjanjian ditandatangani dan Mataram resmi terbelah, Belanda semakin menancapkan kuku pengaruhnya terhadap Kasultanan Ngayogyakarta. Sebab, para pepatih dalem⁠ maupun para bupati, dan semua yang memiliki kekuasaan di daerah yang diangkat Sultan, harus datang ke Semarang untuk mengucapkan sumpah setia di hadapan Gubernur dan Direktur VOC.

Secara implisit, kebijakan ini melarang Sultan mengangkat pepatih dalem⁠ atau bupati sebelum mendapatkan persetujuan Belanda.

Secara ekonomi, Perjanjian Giyanti juga merugikan Kasultanan Ngayogyakarta. Sebab VOC mewajibkan memasok dan menjual semua hasil bumi kepada Belanda dengan harga ditentukan sepihak.

Sumber: Harian Tribun Jogja, Rabu Pon 13 Februari 2013