Tujuh Golongan January 31, 2008
Posted by tintabiru in Renung.add a comment
“Tujuh golongan yg akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya di hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. 1. Pemimpin yg adil, 2. Pemuda yg senantiasa beribadat kepada Allah semasa hidupnya, 3. Orang yg hatinya senantiasa berpaut pada masjid-masjid 4. Dua orang yg saling mengasihi karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, 5. Seorang lelaki yg diundang oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan dan rupa paras yg cantik utk melakukan kejahatan tetapi dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah!’, 6. Seorang yg memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah-olah tangan kanan tidak tahu apa yg diberikan oleh tangan kirinya dan 7. Seseorang yg mengingati Allah di waktu sunyi sehingga mengalirkan air mata dari kedua matanya” (HR. Bukhari & Muslim)
Ketika Laki-laki Berbohong January 10, 2008
Posted by tintabiru in Humor.add a comment
(Anonymous)
Kebutuhan Primer Pria dan Wanita January 9, 2008
Posted by tintabiru in Renung.add a comment
Saat pria memperlihatkan minat terhadap perasaan-perasaan wanita dan menunjukkan kepedulian mendalam akan kesejahteraan wanita itu, si wanita merasa dicinta dan diperhatikan. Dengan membuat si wanita merasa istimewa dengan cara yang penuh cinta, pria itu berhasil memuaskan kebutuhan primernya yang pertama. Tentu saja si wanita makin mempercayainya. Rasa percaya ini membuatnya lebih terbuka dan lebih mudah menerima.
Bila wanita menunjukkan sikap terbuka dan mudah menerima terhadap pria, pria itu merasa dipercaya. Mempercayai pria berarti meyakini bahwa ia melakukan yang terbaik dan bahwa pria tersebut menginginkan yang terbaik bagi pasangannya. Bila reaksi-reaksi si wanita mengungkapkan kepercayaan positif terhadap kemampuan dan niat pria, kebutuhan cinta utama pria itu pun terpuaskan. Otomatis pria itu jadi lebih penuh cinta dan perhatian terhadap perasaan-perasaan dan kebutuhan si wanita.
Wanita merasa dihormati bila pria menanggapinya dengan mengakui dan mengutamakan hak-hak, harapan dan kebutuhan-kebutuhannya. Bila tingkah laku pria itu mempertimbangkan pikiran-pikiran dan perasaannya, wanita tersebut pasti merasa dihormati. Ungkapan-ungkapan rasa hormat fisik dan nyata, misalnya dengan memberi bunga dan mengingat ulang tahun, sangat penting untuk memuaskan kebutuhan cinta utama nomor tiga pada wanita.
Bila wanita merasa dihormati, jauh lebih mudah baginya untuk memberi suaminya penghargaan yang layak diterimanya. Bila wanita mengakui telah menerima manfaat dan nilai pribadi dari usaha-usaha dan tingkah laku pria, si pria jadi merasa dihargai. Penghargaan merupakan reaksi alami terhadap pasangan didukung. Setelah merasa dihargai, pria tahu usahanya tidak sia-sia; dengan demikian, ia didorong untuk memberi lebih banyak. Pria yang merasa dihargai secara otomatis lebih bersemangat dan terdorong untuk lebih menghormati pasangannya.
Bila pria tidak keberatan atau tidak menentang perasaan dan kebutuhan wanita, melainkan menerimanya dan menegaskan keabsahannya, wanita akan betul-betul merasa dicintai, karena kebutuhan primernya yang kelima telah terpuaskan. Sikap mengesahkan pria menegaskan hak wanita untuk merasa sebagaimana dirasakannya. (Perlu diingat, pria dapat menghargai sudut pandang wanita, meski ia sendiri mempunyai sudut pandang berbeda). Setelah pria belajar menunjukkan pada wanita sikap mengiyakan ini, pria itu pasti memperoleh persetujuan yang terutama dibutuhkannya.
Pria umumnya membuat kekeliruan dengan menganggap bahwa sekali ia telah memenuhi semua kebutuhan cinta primer isterinya, dan isterinya merasa bahagia dan aman, maka sejak saat itu isterinya harus tahu bahwa ia dicintai. Padahal ini tidak cukup. Untuk memuaskan kebutuhan cinta primer nomor enam isterinya, pria harus ingat untuk meyakinkannya berulang kali.
Demikian juga, pria terutama merasa perlu mendapat dorongan dari wanita. Sikap membesarkan hati dari wanita bisa memberi harapan dan keberanian kepada pria. Wanita dapat mengungkapkan kepercayaan akan kemampuan-kemampuan serta watak si pria. Sikap mengungkapkan kepercayaan, penerimaan, penghargaan, kekaguman dan persetujuan mendorong pria untuk menjadi pribadi yang sebaik-baiknya. Karena merasa berbesar hati, pria terdorong untuk memberi kepada wanita jaminan penuh cinta yang dibutuhkannya.
Berkumpul Bersama Keluarga di Surga January 7, 2008
Posted by tintabiru in Renung.add a comment
Allah SWT dalam Al-Quran
surat At-Tahrim ayat enam di atas memberikan perintah kepada kita untuk menjaga seluruh anggota keluarga dari azab api neraka. Setidaknya ada dua hal yang harus kita perhatikan berkaitan dengan perintah Allah tersebut.Pertama, menjaga diri. Sebagai pribadi kita harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita kepada Allah SWT di akhirat kelak. Semua amal perbuatan yang baik dan buruk akan dihisab oleh Allah SWT. Bila banyak melakukan amal shaleh, maka insya Allah surga ganjarannya. Sebaliknya, jika lebih banyak berbuat dosa, tentu neraka akan jadi balasannya.
Kedua, menjaga keluarga (wa ahlikum). Bagi seorang Muslim yang telah berkeluarga maka ia pemimpin di keluarganya. Sebagai pemimpin, maka kita harus memberikan keteladanan dalam segala hal. Kita harus mendidik anak dan isteri agar menjadi Muslim/Muslimah yang taat kepada Allah SWT.
Keshalehan orangtua akan menjadi jalan kebaikan bagi keturunannya. Dalam surat Al-Kahfi diceritakan tentang Nabi Khidir AS saat ditanya oleh Nabi Musa AS yang mengambil upah dari memperbaiki rumah yang hampir runtuh. Jawabannya, “Kaana Abuuhumaa Shaalehaa,” artinya “Ayahnya seorang yang shaleh.”
Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al-Kahfi [18] : 82).
Ayat itu menyiratkan mengenai keterkaitan antara orangtua dengan sikap anaknya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang ia yang akan berbicara pada mereka di hari kiamat, tidak akan berbicara pada mereka, dan tidak akan melihat mereka.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah orang yang tidak mau peduli dengan orangtuanya, membenci keduanya, dan tidak mau peduli kepada anaknya.” (HR. Ahmad dan Ath-Tabrani).
Maksud hadits tersebut, hubungan kita dengan orangtua berkorelasi kepada sikap anak kita kepada kita. Jika kita sebagai orangtua selalu mengajarkan keshalehan kepada anak, maka akan diikuti oleh anak kita dan hal itu akan menjadi jariah dari amal kita. Sebaliknya, jika kita banyak memberi contoh keburukan kepada anak, bukan tidak mungkin anak kita menjadi orang yang berperilaku buruk.
Anak dapat menjadi jalan terselamatkannya kita dari api neraka dengan do’a-do’anya sekalipun kita sudah meninggal dunia. Sabda Nabi SAW, “Apabila meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara : Shadaqah yang mengalir, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan kedua orangtuanya.”
Begitu pula jika anak melakukan amal shaleh karena petunjuk kita, maka kita pun akan kecipratan pahalanya. Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala kebaikan itu sebanding dengan yang mengerjakannya.”Sebuah keluarga yang dikumpulkan Allah di surgaNya akan mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan yang abadi. Keluarga yang dikumpulkan Allah di surgaNya kelak tentu bukan sembarang keluarga. Karenanya, kita harus berupaya menjadi pribadi yang shaleh, menjadi pemimpin yang taat bagi keluarga, dan menjadi Muslim yang bermanfaat bagi masyarakat. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang beriman serta anak cucu mereka mengikuti keimanan mereka, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” (QS. At-Thur [52] : 21).
Demikianlah keberadaan orangtua yang shaleh dapat menjadi jalan anak dan cucunya (keluarganya) masuk ke surga, demikian Ibnu Abbas mengomentari ayat di atas. Alangkah indahnya jika kita kelak dapat berkumpul bersama-sama keluarga di surga. Jadikan dunia sebagai sarana untuk mewujudkannya. Jangan sampai dunia dijadikan tujuan utama.