jump to navigation

Sampah oh Sampah September 30, 2013

Posted by tintabiru in Serbaneka.
add a comment

Penerapan Sistem 3R dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

REDUCE
(Mengurangi sampah dengan mengurangi pemakaian barang atau benda yang tidak terlalu kita butuhkan)

1. Kurangi pemakaian kantong plastik.
Biasanya sampah rumah tangga yang paling sering dijumpai adalah sampah dari kantong plastik yang dipakai sekali lalu dibuang. Padahal, plastik adalah sampah yang perlu ratusan tahun (200-300 tahun) untuk terurai kembali. Karena itu, pakailah tas kain yang awet dan bisa dipakai berulang-ulang.

2. Mengatur dan merencanakan pembelian kebutuhan rumah tangga secara rutin misalnya sekali sebulan atau sekali seminggu.

3. Mengutamakan membeli produk berwadah, sehingga bisa diisi ulang.

4. Memperbaiki barang-barang yang rusak (jika masih bisa diperbaiki).

5. Membeli produk atau barang yang tahan lama.

REUSE
(Memakai dan memanfaatkan kembali barang-barang yang sudah tidak terpakai menjadi sesuatu yang baru)

1. Sampah rumah tangga yang bisa digunakan untuk dimanfaatkan seperti: koran bekas, kardus bekas susu, kaleng susu, wadah sabun lulur, dsb. Barang-barang tersebut dapat dimanfaatkan sebaik mungkin misalnya diolah menjadi tempat untuk menyimpan tusuk gigi atau cotton-but.

Selain itu barang- barang bekas tersebut dapat dimanfaatkan oleh anak-anak, misalnya memanfaatkan buku tulis lama jika masih ada lembaran yang kosong bisa dipergunakan untuk corat coret, buku-buku cerita lama dikumpulkan untuk perpustakaan mini di rumah untuk mereka dan anak-anak sekitar rumah.

2. Menggunakan kembali kantong plastik belanja, untuk belanja berikutnya.

RECYCLE
(Mendaur ulang kembali barang lama menjadi barang baru)

1. Sampah organik bisa di manfaatkan sebagai pupuk. Sampah anorganik bisa di daur ulang menjadi sesuatu yang bisa digunakan kembali contohnya: mendaur ulang kertas yang tidak digunakan menjadi kertas kembali, botol plastik bisa disulap menjadi tempat alat tulis, plastik detergen, susu, bisa dijadikan tas cantik, dompet, dll.

2. Disetorkan ke bank sampah yang kemudian dikonversikan ke tabungan.

Mencintai.. September 17, 2013

Posted by tintabiru in Kayungyun.
add a comment

Menikah dengan orang yang kita cintai itu sebuah KEMUNGKINAN..

Mencintai orang yang kita nikahi, itu sebuah KEPUTUSAN..

Terus belajar mencintai orang yang
sudah (lama) kita nikahi, itu sebuah
PERJUANGAN..

Berani merasakan sakitnya untuk kembali membangun rasa cinta
kepada orang yang kita nikahi, itu sebuah KEBERANIAN..

Mau memaafkan pasangan yang kita nikahi itu sebuah KEMULIAAN..

Melandaskan semua cinta hanya kepada Allah, itu sebuah
KESEMPURNAAN..

Sumber: Sekolah Pernikahan

Ciumlah Anak-anak Kalian July 18, 2013

Posted by tintabiru in Spirit.
add a comment

Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang anak. Islam sebagai agama nan sempurna melalui kisah Rasul-Nya banyak memberikan teladan dalam hal ini. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kasih sayang di dalam qalbu ayah dan bunda, sehingga senantiasa menghiasi segala apa yang ada antara ayah bunda dengan buah cinta mereka. […]

Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang anak. Islam sebagai agama nan sempurna melalui kisah Rasul-Nya banyak memberikan teladan dalam hal ini.

Allah

subhanahu wa ta’ala menjadikan kasih sayang di dalam qalbu ayah dan bunda, sehingga senantiasa menghiasi segala apa yang ada antara ayah bunda dengan buah cinta mereka. Gambaran apa pun yang ada di antara ayah-ibu dengan anak mereka, tak lain melambangkan kasih sayang mereka. Sekeras apa pun tabiat sang ayah atau bunda, di sana tersimpan kecintaan yang besar terhadap putra-putrinya.

Besarnya kasih sayang ini terlukis dari ungkapan lisan Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melihat seorang ibu di antara para tawanan. Kisah ini disampaikan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab

radhiallahu ‘anhu: “Datang para tawanan di hadapan Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam. Ternyata di antara para tawanan ada seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami pun menjawab, “Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam api.” Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “

Sungguh Allah lebih penyayang daripada wanita ini terhadap anaknya.” (

Shahih,

HR. Al-Bukhari no. 5999)

Banyak hal yang bisa menjadi ungkapan kasih sayang. Pun yang demikian tak ditinggalkan oleh syariat, hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana beliau mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.

Satu contoh yang beliau berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah mencium anak-anaknya.

Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di antaranya dituturkan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah

radhiallahu ‘anhu:

 “Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium Al-Hasan bin ‘Ali, sementara Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka Al-Aqra’ berkata, “Aku memiliki 10 anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium.” Kemudian Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam memandangnya, lalu bersabda, “Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (

Shahih,

HR. Al-Bukhari no. 5997 dan

Muslim no. 2318)

Para ulama menjelaskan bahwa ucapan Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam ini umum, mencakup kasih sayang terhadap anak-anak maupun selain mereka. (

Syarh Shahih Muslim, 15/77)

Begitu pula yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah bintu Abu Bakr

radhiallahu ‘anhuma:

 “Seorang Arab gunung datang kepada Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengatakan, “Kalian biasa mencium anak-anak, sedangkan kami tidak biasa mencium mereka.” Maka Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “

Sungguh aku tidak memiliki kuasa apa pun atasmu jika Allah mencabut rasa kasih sayang dari qalbumu.” (

Shahih,

HR. Al-Bukhari no. 5998 dan

Muslim no. 2317)

Itulah penekanan beliau, sementara gambaran kasih sayang kepada anak yang lebih jelas dan lebih indah dari itu semua didapati dalam diri Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menyambut putrinya, Fathimah bintu Muhammad

radhiallahu ‘anha. Peristiwa ini dilukiskan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah bintu Abu Bakr

radhiallahu ‘anhuma:

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam bila melihat Fathimah datang,

beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada Fathimah, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit tangannya, lalu mencium beliau. Suatu saat, Fathimah mendatangi Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menderita sakit menjelang wafat. Beliau pun mengucapkan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi padanya hingga Fathimah tertawa. Maka aku berkata pada para istri beliau, ‘Aku berpandangan bahwa wanita ini memiliki keutamaan dibandingkan seluruh wanita, dan memang dia dari kalangan wanita. Dia tengah menangis, kemudian tiba-tiba tertawa.’ Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang beliau katakan padamu saat itu?’ Fathimah menjawab, ‘Kalau aku mengatakannya, berarti aku menyebarkan rahasia.’ Ketika Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, Fathimah berkata, ‘Waktu itu beliau membisikkan padaku: Sesungguhnya aku hendak meninggal. Maka aku pun menangis. Kemudian beliau membisikkan lagi: Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang menyusulku di antara keluargaku. Maka hal itu menggembirakanku’.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam

Shahih Al-Adabul Mufrad no.725)

Anas bin Malik

radhiallahu ‘anhu, seorang shahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah Al-Qibthiyyah

radhiallahu ‘anha:

 “Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata lagi, “Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di suatu daerah dekat Madinah. Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi.

Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali.” (

Shahih, HR. Muslim no. 2316)

Kisah ini menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati kebolehan menyusukan anak pada orang lain. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi. (

Syarh Shahih Muslim, 15/76)

Kalaulah dibuka perjalanan para pendahulu yang shalih dari kalangan shahabat radhiallahu ‘anhum, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. Bahkan dilakukan oleh shahabat yang paling mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq

radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakr

radhiallahu ‘anhu tiba di Madinah bersama Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hijrah, dia mendapati putrinya, ‘Aisyah

radhiallahu ‘anha sakit panas. Al-Barra’ bin ‘Azib

radhiallahu ‘anhu yang menyertai Abu Bakr saat menemui putrinya mengatakan:

 “Kemudian aku masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang penyakit panas.

Maka aku melihat ayah ‘Aisyah mencium pipinya dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?‘.” (

Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3918)

Inilah kasih sayang Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang ayah yang paling mulia di antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia. Keberatan apa lagikah yang menggayuti seseorang yang mengaku mengikuti beliau untuk mengungkapkan kasih sayang di hatinya dengan pelukan dan ciuman kepada anak-anaknya?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawabPenulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Sumber: akhwat.web.id

(Humor) Kisah Seorang Politisi April 21, 2013

Posted by tintabiru in Humor.
add a comment

Seorang politisi bersemangat tinggi mendatangi perkampungan suku terasing untuk berkampanye. Di depan warga suku, di ladang ketela yang habis dipanen, politisi tsb berpidato berapi-api;

“Saya datang kesini, karena saya mencintai saudara-saudara­­ semua!”
“Wuukaaaa!!!” orang-orang berteriak serempak sambil mengepalkan tangan ke udara. Politisi tsb jadi kian membara semangatnya.

“Dengan sepenuh hati akan saya perjuangkan kemakmuran untuk saudara-saudara­­!”
“Wuukaaaa!!!”

“Perumahan yang lebih baik!”
“Wuukaaaa!!!”

“Makanan yang lebih lezat dan bergizi!”
“Wuukaaaa!!!”

“Pendidikan!”
“Wuukaaaa!!!”

“Kesehatan!”
“Wuukaaaa!!!”

“Kehidupan yang lebih bermartabat!”
“Wuukaaaa!”

Itu sungguh kampanye yang gegap-gempita dan alangkah meriahnya.

Usai kampanye, politisi meninjau perkampungan diiringkan Kepala Suku. Ia pun tertarik pada bangunan besar tepat di tengah perkampungan itu.

“Bangunan apa itu?”
“Kandang kuda”.
“Kuda?”
“Ya… Kami menggunakan kuda untuk berburu. Kuda-kuda milik semua warga disimpan di kandang itu”.

Lagi-lagi politisi kita bangkit semangatnya. Kebetulan sekali ia sendiri adalah penggemar kuda yang fanatik. Matanya kontan berbinar becahaya,

“Saya ingin melihat kuda-kudanya!”
“Oh, silahkan. Tapi mohon hati-hati melangkah… Sayang jika sepatu Bapak kalau sampai menginjak WUUKKAAA…”

“Oohh…!?”

258 Tahun Perjanjian Giyanti: Ngayogyakarta di Bawah Ketiak Belanda February 13, 2013

Posted by tintabiru in Serbaneka.
add a comment

Perjanjian Giyanti menjadi babak akhir Kerajaan Mataram Islam dan babak baru Kasultanan Ngayogyakarta. Meski secara administrasi terlihat menguntungkan Ngayogyakarta, namun secara politik, perjanjian ini mengokohkan cengkeram Belanda di Jawa.

Tepat 258 tahun lalu, pada Kamis Kliwon, 13 Februari 1755, momen penting yang menandai babak baru perjanjian Giyanti, yang ditandatangani Pangeran Mangkubumi dengan Gubernur VOC untuk Jawa Utara, N. Hartingh.

Dari naskah perjanjian itulah, Mataram akhirnya terbagi dua. Wilayah timur berkedudukan di Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan, diberikan kepada Sunan Pakubuwono III, dan wilayah barat menjadi pusat pemerintahan Kasultanan berkedudukan di Yogyakarta, diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubowono I.

Penandatanganan Perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi dan Nicolaas Hartingh dari pihak VOC. Tidak dilibatkannya Paku Buwono III saat penandatanganan sebagai bagian dari strategi VOC untuk mengadu domba pihak-pihak di Kerajaan Mataram, sekaligus meredam perlawanan Pangeran Mangkubumi.

Di lain pihak, Pangeran Mangkubumi juga cukup percaya pada wangsit yang diterimanya, bila Belanda akan segera hengkang dari Ngayogyakarta. Sehingga agenda politik VOC tidak terlalu diperhatikannya.

Meski ada beberapa persoalan yang melingkupi Perjanjian Giyanti, penguasa Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta akhirnya bertemu dan saling menerima pembagian yang dilakukan Belanda.

Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi baru bertemu dua hari kemudian (15 Februari 1755) di Lebak Jatisari untuk penyerahan keris Kanjeng Kyai Kopek.

Setelah itu, pada Kamis Pon, 13 Maret 1755 dilaksanakan Proklamasi Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Selanjutnya, Sultan Hamengkubowono I mesanggrah⁠ di pesanggarahan Ambarketawang, pada Kamis Pon, 9 Oktober 1755.

Babak selanjutnya adalah peresmian Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ditandai masuknya Sultan Hamengkubowono I bersama keluarga ke Kraton Yogyakarta dari arah selatan pada Kamis Pahing 7 Oktober 1756. Peristiwa ini ditandai sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal, yang terukur di Banon Kelir Regol Magangan⁠ dan Ragol Gandhung Mlanthi⁠.

Sultan Hamengkubowono I pun berkuasa, dan menurut Perjanjian Giyanti, memperoleh hak 53.100 karya (cacah⁠) negaragung⁠ dan 33.950 karya (cacah⁠) mancanegara. Wilayah mancanegara di bawah Kasultanan Ngayogyakarta meliputi Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras Karang (Ngawen), Sela Warung (Kuwu Wirasari) dan Grobogan.

Setelah naskah perjanjian ditandatangani dan Mataram resmi terbelah, Belanda semakin menancapkan kuku pengaruhnya terhadap Kasultanan Ngayogyakarta. Sebab, para pepatih dalem⁠ maupun para bupati, dan semua yang memiliki kekuasaan di daerah yang diangkat Sultan, harus datang ke Semarang untuk mengucapkan sumpah setia di hadapan Gubernur dan Direktur VOC.

Secara implisit, kebijakan ini melarang Sultan mengangkat pepatih dalem⁠ atau bupati sebelum mendapatkan persetujuan Belanda.

Secara ekonomi, Perjanjian Giyanti juga merugikan Kasultanan Ngayogyakarta. Sebab VOC mewajibkan memasok dan menjual semua hasil bumi kepada Belanda dengan harga ditentukan sepihak.

Sumber: Harian Tribun Jogja, Rabu Pon 13 Februari 2013

Maafkan Aku Sayang..! January 8, 2013

Posted by tintabiru in Serbaneka.
add a comment

Maaf adalah kata yang selayaknya sering diucapkan untuk melanggengkan hubungan suami isteri, sehingga bahtera rumah tangga berhasil mencapai tujuan. “Duhai sayang, maafkan saya”… “Aku tiada bermaksud demikian”… “Aku telah salah dalam memberikan hakmu” … adalah ungkapan-ungkapan yang sering kita gunakan tetapi memiliki satu makna, yaitu meminta maaf yang merupakan terminal yang pasti akan kita lalui dalam melanggengkan kehidupan suami istri dari keruntuhan dan kehancuran.

Sesungguhnya suami isteri secara bersama, masing-masing memiliki saham dalam keberhasilan dan kebahagiaan keluarganya, lalu kenapa salah seorang di antara mereka berdua memunculkan kalimat “kebencian” pada saat muncul masalah!!! Andai salah seorang dari mereka berdua berbuat salah, lalu ia meminta maaf kepada pasangannya, apakah hal ini akan menghinakan dirinya? Jika seperti itu sikap suami isteri, tentulah kehidupan mereka akan mengalami satu dari dua hal: mungkin akan langgeng rumah tangganya tetapi kurang harmonis dan banyak perselisihan, dan mungkin juga akan berujung kepada hancurnya kehidupan suami isteri, cerai.

Kehidupan suami isteri itu ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar, padanya ada nahkoda dan awak kapal. Semua yang ada di dalam kapal itu bahu-membahu berusaha menyelamatkan kapal yang mereka tumpangi pada saat kapal ditimpa badai agar semuanya selamat dan sampai ke “pulau idaman”.

Demikian juga halnya suami, Allah menjadikannya sebagai pemimpin bahtera rumah tangga, pelindung dan pengayom bagi keluarga, bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Kepemimpinan yang diembannya itu adalah tugas, bukan intimidasi atas kesewenang-wenangan. Maka suami yang baik adalah orang yang memahami kebutuhan dan perasaan isterinya, dan menjadikan tampuk kepemimpinannya penuh dengan kasih sayang, kesejukan dan kedewasaan, tidak mudah emosi, namun tetap tegas pada saat harus bersikap tegas !!!

Akan tetapi, sebagian suami yang meremehkan tugas ini memahami, bahwa meminta maaf kepada istri akan menghinakan dirinya sebagai laki-laki, bahkan ia berpendirian bahwa kemuliaannya tidak membolehkan dirinya untuk mengucapkan kalimat “Istriku, maafkan aku, aku salah” kepada isterinya, bagaimanapun keadaannya. !!!

Maka, keegoannya terus ia pertahankan dan istri selalu diposisikan “bersalah”, ia tidak pernah meminta maaf kepadanya, yang kemudian menyeretnya kepada kehancuran rumah tangga dan kalimat “cerai” pun tak terhindarkan, padahal sangat mungkin rumah tangga itu bisa dilanggengkan dengan ucapan “maafkan suamimu, sayang”.

Ketika “Rasa Gengsi” Ikut Campur

Seorang istri pernah menceritakan tentang pengalamannya:
Dahulu, kehidupanku bersama suamiku demikian bahagia. Akan tetapi itu semua berubah ketika terjadi beberapa percekcokan tentang urusan rumah. Waktu itu aku tinggal bersama di rumah mertuaku, maka aku memutuskan untuk pindah dan keluar dari rumah mertuaku, walaupun sendirian. Suamiku menolak rencanaku dan menjelaskan, bahwa ia suatu hari nanti akan bisa memiliki rumah sendiri. Dan terkadang suamiku memberi alasan tidak bisa meninggalkan ibunya, dan lain-lain, sampai suatu hari, terjadilah perselisihan antara aku dengan suamiku. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah mertuaku dan kembali ke rumah orang tuaku, dan aku katakan, jangan menjenguk atau menjemputku sebelum engkau memiliki rumah sendiri. Maka, aku dan suamiku pun sama-sama bersikukuh dengan pendirian masing-masing.

Dan sungguh aku pun akhirnya menyesali perbuatanku. Akan tetapi aku ingin mengetahui sejauh mana kedudukanku di sisi suamiku. Ternyata, suamiku bersikukuh tidak mau memaafkanku dan tidak berusaha meredakan suasana. Ia mengatakan, “Bertobatlah kepada Allah, dan kembalilah ke rumah ini, jika kamu tidak mau tobat, maka cukup bagiku untuk menceraikanmu. Demikianlah kepribadian kebanyakan suami, dan sangat sedikit yang bersikap dewasa. Bahkan di antara mereka ada yang sampai tidak mau mengasihi dan menyayangi isterinya, walaupun hanya dengan satu kata yang dicintai isterinya apalagi sampai mau memaafkan isterinya tersebut.

Seorang istri lagi menuturkan: “Para suami kita, sangat disayangkan sekali, mereka sangat mudah mengungkapkan kata-katanya kepada kita, kecuali “ungkapan maaf”, bagaimana pun keadaannya. Suamiku sangat temperamental, tabiatnya keras dalam mempergauliku. Ia selalu mengucapkan ungkapan-ungkapan kasar kepadaku, bahkan ia pun pernah memukulku. Dan aku tetap bersabar sekalipun aku dalam posisi yang benar. Tetapi suamiku tidak mau mengubah pendiriannya sampai akhirnya aku yang meminta maaf kepadanya, baik yang salah adalah aku ataupun sebaliknya. Dengan berlalunya waktu sekian tahun, sikap suamiku kepadaku bertambah jelek, hingga memupus kesabaranku. Setelah terjadi perselisihan antara aku dan suamiku, aku memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku. Aku menunggu, semoga suamiku mau datang dan meminta maaf atas perilakunya selama ini atau barangkali ia mau menelponku. Akan tetapi ia tidak melakukan itu semua, sampai aku mendengar tentang dirinya, ia merasa selama ini bersalah, kini menyesal atas perbuatannya yang telah menzhalimi aku. Akan tetapi, ia tidak mau meminta maaf kepadaku, karena keegoisan dan kegengsiannya serta merasa menjadi hina dengan hal itu. Hingga terjadilah cerai atas permintaanku.

Adapun kisah Abu Khalid, ia mengatakan, “Habis sudah kehidupan ku bersama isteriku, padahal aku mencintainya, akan tetapi dengan sebab ketidakharmonisan, dan aku enggan meminta maaf kepadanya, hingga akhirnya aku menerlantarkan anak-anakku hidup tanpa ibu.
Masalahnya adalah, bahwa isteriku adalah karyawati. Maka, aku katakan padanya berkali-kali untuk meninggalkan pekerjaannya dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Akan tetapi isteriku menolak membicarakan masalah itu. Dan ketika aku larang dia berangkat ke kantor, terjadilah perselisihan antara aku dengan dia. Dan aku terpeleset salah dalam berkata, aku mengatainya agak lama, maka ia pun pergi pulang ke rumah orang tuanya. Maka, ia pun mengingatkan agar aku meminta maaf dan mengetahui kesalahanku ketika mengatai dirinya. Akan tetapi aku menjadi sombong dan aku pun menceraikannya hanya untuk mempertahankan harga diriku sebagai laki-laki. Kini aku benar-benar menyesal dengan penuh penyesalan.

Terapi Jiwa adalah Solusinya

Dr. Najwa Ibrahim, seorang Guru besar Psikologi menjelaskan, bahwa pendidikan dan latar belakang hidup seseorang bisa berdampak sangat penting dalam cepatnya dia meminta maaf atau tidak. Beliau berkata, di antara sebab-sebabnya adalah sebagai berikut:

Metode pendidikan yang telah memberi pengaruh kepadanya sehingga dia begitu sulit meminta maaf atau mengungkapkan kata “maaf” .

Diantara metode ini adalah metode yang ditanamkan kepada kita ketika kecil dalam meminta maaf, baik suka atau tidak. Meminta maaf dikaitkan dengan emosi dan dari pihak yang kalah.

Pandangan atau keyakinan yang tidak rasional yang tertanam didalam fikiran kita dan begitu besar dampaknya adalah “bahwa laki-laki tidak boleh meminta maaf kepada perempuan”.

Anggapan, orang yang meminta maaf itu lemah kepribadiannya.

Maka, sudah semestinya seorang suami atau isteri merasa, bahwa ketika perilakunya menimbulkan kemarahan atau melukai perasaan pasangannya, ungkapan “maaf” lah yang bisa menghilangkan “ketersinggungan hati dan mencairkan ketegangan”. Meminta maaf pada saat yang tepat juga bisa menghilangkan banyak hal yang bisa merusak hubungan suami isteri, andai tidak segera dieliminir.

Meminta Maaf adalah Sifat Jantan

Dr. Muhammad Musthafa, Guru Besar psikologi dan sosiologi Univ. Malik Su’ud, mengatakan bahwa meminta maaf adalah merupakan wujud sifat jantan dari seorang suami atau siapapun yang berbuat salah. Meminta maaf bukan sifat yang dimiliki oleh orang yang lemah, sebagaimana persangkaan sebagian orang, di mana mereka mengatakan:

Semua orang pernah berbuat salah, namun sedikit orang yang jantan meminta maaf dari kesalahannya kepada orang lain. Apalagi jika yang dimintai maaf itu adalah isterinya. Sebab, setiap suami berbeda-beda cara dan tabiatnya. Sebagian meminta maaf dengan cara tidak langsung akan tetapi mencapai tujuan dan sebagian menghindar dari masalah yang ia alami karena demi masa depan dan kejiwaan anak-anaknya yang akan hancur bila mereka berpisah. Ada sebahagian suami yang berlebih-lebihan, ia menolak meminta maaf karena gengsi dan egois, padahal para pakar psikososial menyatakan bahwa meminta maaf bukanlah hal yang jelek. Maka, meminta maaf adalah sesuatu yang mesti dilakukan, dan bagi orang yang bersalah lebih ditekankan lagi. Apabila seseorang berbuat salah, maka tidak ada yang layak baginya selain meminta maaf.

Orang yang bersikukuh menolak meminta maaf kepada pasangannya dengan alasan akan mengurangi kehormatannya, maka orang yang demikian terkena penyakit jiwa. Sebab, diantara sifat kemuliaan adalah meminta maaf ketika berbuat salah kepada orang lain.

Ada Apa dengan Sifat Laki-Laki

Sifat kejantanan mengarahkan seseorang untuk meminta maaf jika berbuat salah kepada isterinya atau kepada orang lain. Sebab jantan berarti jujur dan luhurnya budi pekerti. Di saat seorang suami meminta maaf, maka ia tidak jatuh di mata isterinya atau akan jatuh harga dirinya sebagaimana gambaran sebagian suami. Bahkan itu akan mengangkat kedudukannya di mata isterinya; sebab itu akan menjadi pelajaran dalam amanah dan keluhuran budi dan kehormatan itu sendiri. Maka, meminta maaf bukan merupakan kelemahan, bahkan kelemahan itu sendiri adalah seseorang menyembunyikan kesalahannya dan berlindung dibalik kesombongan dan bersikukuh dengannya.

Dan banyak problem suami isteri diawali dengan adanya kesombongan sang suami dan enggan untuk meminta maaf kepada isterinya ketika ia memarahi sang isteri. Maka, sudah semestinya para suami ingat, bahwa dengan ia meminta maaf atas kesalahan kepada isterinya, akan bisa mengembalikan “air” ke dalam alirannya, mengembalikan perasaan romatis, merekahnya kecintaan di antara kalian berdua, walaupun sifat kelaki-lakianmu merasa enggan untuk itu.

Mintalah maaf kepada istrimu atas kesalahan dan kelalaianmu, wahai para suami! Walau tidak kau sampaikan secara langsung. Sebab dengan itu rumah tangga akan menjadi damai, sejahtera dan harmonis. Semoga!

Sumber: Majalah ad Dakwah

Kulit Mulus Bersinar karena Dahsyatnya Efek Seks December 15, 2012

Posted by tintabiru in Serbaneka.
add a comment

Hubungan seks yang sehat telah diketahui memiliki manfaat yang besar terhadap kesehatan secara keseluruhan. Bahkan seks juga memiliki manfaat dalam menjaga kecantikan kulit wajah secara alami dan memberikan solusi terhadap beberapa masalah kulit.

Berikut 8 manfaat seks yang tampak pada kulit, seperti dilansir realbeauty, Kamis (20/09/2012) antara lain:

1. Kulit lebih bersinar
Seks membuat kulit tampak bersinar secara alami karena ketika seseorang berhubungan seks, sirkulasi darahnya meningkat dan membantu memompa oksigen ke kulit dan membuatnya lebih cerah. Hal ini juga membantu menghilangkan racun dan dapat membuat bibir lebih berwarna merah segar.

2. Jerawat terkontrol
Sama seperti olahraga, berhubungan seks juga dapat mengurangi kadar hormon yang mempengaruhi pertumbuhan jerawat.

3. Bebas dari bintik-bintik penuaan
Hubungan seks dapat mendorong produksi kolagen yang dapat menghambat mengendurnya kulit wajah dan munculnya bintik-bintik penuaan pada kulit.

4. Terhindar dari kulit kering
Dengan berhubungan seks, oksigen dapat dialirkan dengan lancar oleh darah, mencegah kekeringan kulit dan menjaga kelembaban alami kulit.

5. Mencegah keriput
Produksi kolagen yang meningkat karena hubungan seks dapat membantu mencegah munculnya kerutan atau keriput di wajah. Keriput di wajah lebih cepat terbentuk jika seseorang stres, penggunaan masker wajah saja tidak cukup, sertailah dengan hubungan seks yang sehat.

6. Kuku menjadi kuat
Hormon-hormon yang sama yang dilepaskan untuk membuat kulit bersinar juga dapat menjaga kekuatan kuku, terutama selama kehamilan.

7. Kulit terhidrasi
Hal ini bukan berarti Anda dapat menggantikan kebutuhan air minum hingga 8 gelas air sehari dengan seks, tetapi berhubungan seks dapat menjaga kulit Anda dari dehidrasi. Karena sirkulasi darah yang baik dan beredar secara efisien di sekitar tubuh dapat meyebabkan kelembapan alami yang dibutuhkan agar kulit tetap sehat.

8. Pori-pori kulit bersih
Dengan berkeringat saat berhubungan seks, akan membersihkan kotoran dan sisa make up yang menyumbat pori-pori dengan cara yang lebih alami daripada dengan menggunakan pembersih wajah yang mengandung bahan kimia.

Sumber: detikhealth

Kisah Li-li & Ibu Mertua November 17, 2012

Posted by tintabiru in Renung.
add a comment

Dulu sekali di negeri Cina, hiduplah seorang gadis bernama Li-Li yang menikah dan tinggal di wisma mertua indah. Dalam tempo singkat, Li-Li tahu bahwa ia tidak cocok sama sekali dengan ibu mertuanya. Karakter mereka jauh berbeda, dan Li-Li sangat berang terhadap banyak kebiasaan ibu mertuanya. Juga, mertuanya itu terus menerus mengritiknya.

Hari berganti hari, begitu pula bulan berganti bulan. Li-Li dan ibu mertuanya tidak pernah berhenti berdebat dan bertengkar. Yang memperburuk suasana ialah adat kuno Cina di mana Li-Li dituntut harus selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertuanya dan mentaati semua kemauannya. Semua kemarahan dan ketidakbahagiaan di dalam rumah itu menyebabkan kesedihan yang mendalam pada hati suami Li-Li, seorang yang berjiwa sangat sederhana.

Akhirnya, Li-Li tidak bisa tahan lagi terhadap sifat buruk dan kesewenang-wenangan ibu mertuanya, dan ia benar-benar telah bertekad untuk melakukan sesuatu. Li-Li pergi menjumpai seorang teman ayahnya yaitu tuan Wang yang mempunyai Toko Obat Cina. Ia menceritakan situasinya dan minta diberikan ramuan racun untuk dapat menuntaskan masalahnya dalam sekali pukul.

Sinshe Wang berpikir keras sejenak dan akhirnya berkata: “Li-Li, saya mau membantu kamu menyelesaikan masalahmu, tetapi kamu harus mendengarkan saya dan mentaati apa yang saya sarankan.” Li-Li berkata, “OK pak Wang, saya akan mengikuti apa saja yang bapak katakan yang harus saya perbuat.”

Sinshe Wang masuk ke ruang belakang, dan kembali beberapa menit kemudian dengan sebungkus ramuan obat. Ia berkata kepada Li-Li, “Kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika untuk meyingkirkan ibu mertuamu, karena hal itu akan membuat semua orang menjadi curiga. Oleh karena itu, saya memberi kamu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan menjadi racun di dalam tubuhnya. Setiap hari sediakan makanan yang enak-enak dan masukkan sedikit ramuan obat ini ke dalamnya. Maka, supaya tidak ada yang curiga saat ia mati nanti, kamu harus hati-hati sekali dan bersikap sangat bersahabat dengannya. Jangan berdebat dengannya, taati semua kehendaknya, dan perlakukan dia seperti seorang ratu.”

Li-Li sangat bahagia. Ia berterima kasih kepada tuan Wang dan buru-buru pulang ke rumah untuk memulai rencananya untuk membunuh ibu mertuanya.

Minggu demi minggu, bulan demi bulan telah lewat, dan setiap hari Li-Li melayani mertuanya dengan makanan yang sudah “dibumbuinya”. Ia mengingat semua petunjuk tuan Wang tentang hal mencegah kecurigaan, maka mengendalikan amarahnya, mentaati ibu mertuanya dan memperlakukannya seperti ibunya sendiri.

Setelah enam bulan lewat, suasana di dalam keluarga itu berubah secara drastis. Li-Li sudah mampu mempraktekkan pengendalian amarahnya sedemikian rupa sehingga ia menemukan dirinya tidak pernah lagi marah atau kesal. Ia tidak pernah berdebat dengan ibu mertuanya selama enam bulan terakhir karena ia menemukan bahwa ibu mertuanya kini tampaknya lebih ramah dan lebih mudah untuk diajak hidup bersama.

Sikap ibu mertua terhadap Li-Li telah berubah, dan ia mulai mencintai Li-Li seperti puterinya sendiri. Ia terus menceritakan kepada kawan-kawan dan sanak familinya bahwa Li-Li adalah menantu yang paling baik yang mungkin ia peroleh. Li-Li dan mertuanya saling memperlakukan satu sama lain seperti layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Suami Li-Li sangat bahagia menyaksikan semua yang terjadi ini.

Suatu hari, Li-Li pergi menjumpai sinshe Wang dan meminta bantuannya sekali lagi. Ia berkata, “Pak Wang yang baik, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang saya berikan kepada ibu mertua saya jangan sampai membunuhnya! Ia telah berubah menjadi seorang wanita yang begitu baik, sehingga saya mencintainya seperti kepada ibu saya sendiri. Saya tidak mau ia sampai mati karena racun yang pernah saya berikan kepadanya.”

Tuan Wang tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah ramuan penguat badan untuk memperbaiki kondisi kesehatan beliau. Satu-satunya racun yang ada ialah yang terdapat di dalam pikiranmu sendiri dan di dalam sikapmu terhadapnya, tetapi semuanya itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya.”

* * * * *

Bahwasannya sebagaimana kita memperlakukan orang lain maka demikianlah persis bagaimana mereka akan memperlakukan kita? Ada pepatah Cina kuno yang berkata: “Orang yang mencintai orang lain akan dicintai juga sebagai balasannya.” Tuhan mungkin mencoba bekerja di dalam kehidupan orang lain melalui kita.

(Anonymous)

Sejarah Kulon Progo October 28, 2012

Posted by tintabiru in Serbaneka.
add a comment

Wilayah Kulon Progo, sebelum menjadi Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 15 Oktober 1951, terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo yang berada di bagian utara sebagai bagian wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta di bagian selatan yang merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pakualaman.

WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN KULON PROGO) : Wilayah Utara.

Sebelum Perang Diponegoro di daerah Naragung, termasuk didalamnya wilayah Kulon Progo, merupakan wilayah kosong tanpa kekuasaan atau belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Dalem yang bertempat tinggal di Ibukota negara Kutogoro. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo (kasultanan) terbentuk empat kabupaten kecil yaitu: 1. Kabupaten Pengasih, tahun 1831, 2. Kabupaten Sentolo, tahun 1831, 3. Kabupaten Nanggulan, tahun 1851, 4. Kabupaten Kalibawang, tahun 1855. Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung atau Riyo.

Menurut buku ‘Prodjo Kejawen’ pada tahun 1912, 4 Kabupaten Kecil yakni Kabupaten Pengasih, Sentolo, Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto. Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan (distrik) dengan delapan Kapanewon (onder distrik), sementara itu ibukota kabupaten dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih dan Kawedanan Nanggulan, yang masing-masing membawahi 4 Kapanewonan (onder distrik). Kawedanan Pengasih meliputi kepanewonan Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Sedangkan Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewonan Watumurah (Girimulyo), Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh. Adapun yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut: 1. RT. Poerbowinoto 2. KRT. Notoprajarto 3. KRT. Harjodiningrat 4. KRT. Djojodiningrat 5. KRT. Pringgodiningrat 6. KRT. Setjodiningrat 7. KRT. Poerwoningrat.

WILAYAH KADIPATEN PAKUALAMAN (KABUPATEN ADIKARTA) : Wilayah Selatan
Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan Kejawen yang bernama Kabupaten Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta.

Menurut buku ‘Vorstenlanden’ riwayat Kabupaten Adikarta sebagai berikut : disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ariyo Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo, sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama daerah sebelah utara Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh (Pelenggah) itu letaknya berpencaran, maka Sentana Dalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan penyatuan pelungguh tersebut, maka layaklah menjadi satu daerah kesatuan yang(luasnya) setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot. Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdojo.

Pada masa pemerintahan Bupati kedua, yang dijabat oleh R. Rio Wasadirdjo, KGPAA Paku Alam V memerintahkan agar mengusahakan pengeringan tanah rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang sungguh-sungguh elok, Adi (Linuwih) dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka Paku Alam V selanjutnya berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 dengan ibukota di Bendungan. Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1903 Ibukotanya dipindahkan ke Wates.

Kabupaten Adikarta terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Panjatan dan Brosot. Adapun yang menjabat Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut: 1. Tumenggung Sosrodigdojo 2. R. Rio Wasadirdjo 3. R.T. Surotani 4. R.M.T. Djayengirawan 5. R.M.T. Notosubroto 6. K.R.M.T. Suryaningrat 7. Mr. K.R.T. Brotodiningrat 8. K.R.T. Suryaningrat (Sungkono).

KESATUAN WILAYAH DENGAN JAWA BESAR/INDONESIA: PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO DENGAN KABUPATEN ADIKARTA

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII Pada 5 September 1945 mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa Wilayah Kekeuasaan Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan Daerah Istimewa sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo (wilayah uatara) dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto(wilayah selatan). Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan pada tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarta dalam lingkungan DIY menjadi satukabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Selanjutnya tanggal tersebut secara yuridis formal ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo, yakni 15 Oktober 1951, atau saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Selanjutnya pada Tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi pemerintahan baru, mulai dilaksanakan, dengan pusat pemerintahan di Wates.

Nama-nama yang menjabat Bupati Kulon Progo sejak tahun 1951 sampai sekarang adalah sbb: 1. KRT. Suryoningrat (1951 – 1959) 2. R. Prodjo Suparno (1959-1962) 3. KRT. Kertodiningrat (1963-1969) 4. R. Soetedjo (1969-1975) 5. R. Soeparno (1975-1980) 6. Drs. KRT. Wijoyo Hadiningrat ( 1981-1991) 7. Drs, H, Suratidjo (1991-2001) 8. H. Toyo Santosa Dipo (2001-2006; periode I) 9. H. Toyo Santosa Dipo (2006-2011; periode II) 10. dr. Hasto Wardoyo (2011-2016).

(dari berbagai sumber)

True Love ?? October 7, 2012

Posted by tintabiru in Serbaneka.
add a comment

Tulisan: Agung Webe | 07 October 2012 | kompasiana.com

Saya memanggilnya Dina. Ketika ia bercerita kepada saya, saat itu umurnya 37 tahun, punya suami dan satu orang anak. Suaminya berumur 40 tahun termasuk gagah dan juga nggak malu-maluin kalo ‘ditenteng’ jalan.
Dina mempunyai pekerjaan tetap, begitu pula suaminya. Artinya mereka punya penghasilan yang termasuk mapan untuk menjalankan kehidupan keluarganya. Dina termasuk wanita yang setia menjaga cinta keluarganya. Dalam kamus hidupnya, cinta Dina hanya untuk suaminya dan sama sekali tidak berpikir untuk singgah ke pelukan pria lain.

Di perusahaan suami Dina, ada seorang komisaris yang berpengaruh dan dia akrab dengan suami Dina. Sang komisaris yang sering dipanggil om Dedi yang berumur 63 tahun akrab dengan suami Dina dan sering mengajak suami Dina untuk ngobrol ngopi-ngopi. Dalam obrolan santai disertai minum kopi ini sesekali Dina menemani mereka.
Om Dedi akhirnya tidak hanya akrab dengan suami Dina, namun juga akrab dengan Dina juga. Hubungan om Dedy yang berumur 63 tahun dengan suami Dina yang berumur 40 tahun dan Dina yang berumur 37 tahun memang layaknya bapak dan anak-anaknya. Om Dedi sangat mengayomi dan melindungi mereka. Tentu saja om Dedy yang berumur 63 tahun ini sudah mempunyai anak dan sudah mempunyai cucu.

Om Dedy kini sudah bukan merupakan orang asing lagi bagi Dina, yang akhirnya Dina sendiri akrab seperti ayahnya sendiri. Dina mulai terbiasa bertemu dengan om Dedy tanpa ditemani suaminya. Pertemuan itu berlangsung semakin sering dan memang dibuat sangat wajar tanpa sembunyi-sembunyi.
Dina bilang kepada saya, “mas Webe, saya sayang sama om Dedy. Entah kenapa rasa sayang saya ke om Dedy lebih dalam daripada rasa sayang saya kepada suami saya. Saya mulai sering kangen sama om Dedy. Dan begitu pula Om Dedy.”

Dina yang berusia 37 tahun mulai mempunyai rasa sayang kepada Om Dedy yang berusia 63 tahun.
Om Dedy juga menunjukkan rasa sayangnya kepada Dina. Ia mulai memberikan materi-materi berupa hadiah-hadiah, walupun itu selalu dengan alasan diberikan kepada suami Dina. Rasa sayang Dina semakin dalam, begitu juga om Dedy.

“Mas Webe, saya juga akhirnya melakukan sex dengan om Dedy”, begitu kata Dina kepada saya.
“Saya lakukan itu karena saya sangat sayang melebihi suami saya sendiri. Saya sadar bahwa dia sudah berumur 63 tahun. Sudah kakek. Tapi saya sayang sekali sama dia. Dan mas Webe, dengan dia saya bisa mencapai orgasme yang sebelumnya bila itu saya lakukan sama suami, saya tidak pernah mencapainya. Saya sudah menikah dengan suami saya selama 12 tahun, dan selama itu sex yang kami lakukan tidak seperti rasa sex ini. Ini benar-benar dengan perasaan yang dalam.”
Saya bertanya, “Apakah om Dedy mempunyai rasa yang sama?”
“Ya. Dia bilang begitu. Bahwa dia menemukan saya dan punya rasa sayang ini yang sebelumnya dia tidak punya, walaupun itu kepada istrinya. Banyak hal dalam sex yang baru pertama kali ini kami lakukan. Saya sebelumnya tidak pernah lakukan ini dengan suami, dan om Dedy juga tidak pernah melakukannya dengan istrinya.”
“Apa itu?”
“Kami bisa melakukannya dimana saja, bahkan di mobil, dan om Dedy yang berumur 63 tahun itu dapat melakukannya 3 kali bila kami bertemu dalam hari itu.”

Dina memang larut dalam cintanya kepada Om Dedy. Sementara Suaminya masih tetap akrab, dan mereka sesekali masih nongkrong bertiga. Mereka bertiga akrab walaupun suaminya tidak tahu bahwa Dina sudah sering tidur bersama om Dedy. Mungkin pikir suaminya adalah, mana mungkin istri saya yang berumur 37 tahun mau tidur dengan kakek yang sudah berumur 63 tahun?

Namun inilah kenyataan yang terjadi. Dina yang sebelumnya juga menganggap bahwa om Dedy itu adalah bapaknya, sosok orang tua yang sudah putih rambutnya, keriput kulitnya, namun apa daya ketika cinta membutakan semua hal yang dilihat dan dihindarinya? Dina tidak lagi melihat sosok om Dedy adalah kakek yang berumur 63 tahun, namun ia melihat cinta didalamnya. Cinta Dina maupun om Dedy membongkar batas umur yang ada.
Sampai kini, Dina dan Om Dedy masih sering bertemu untuk meluapkan cinta mereka dalam gairah yang kata mereka tidak pernah ia temui dalam perkawinan mereka masing-masing sebelumnya. Bahkan rasa sayang dan cinta yang mereka punyai juga merupakan rasa yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.

Dina bertanya pada saya yang sampai sekarang belum bisa saya jawab, “Mas Webe, apakah ini yang namanya cinta sejati?”