jump to navigation

Siapa Tertarik dengan Lahan Gambut? January 7, 2010

Posted by tintabiru in Serbaneka.
add a comment

Menghindari citra negatif komoditas sawit dari sisi kelestarian lingkungan, pemerintah membuat pagar pembatas.

Dalam rangka memproduksi minyak sawit berkelanjutan, pemerintah mendorong pelaku bisnis mengikuti sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Kecuali itu, pemerintah juga mengeluarkan regulasi No.14/Permentan/PL.110/2/2009 pada 16 Februari 2009. Permentan ini berisi Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. “Diharapkan pedoman tersebut dapat memberikan kepastian usaha dan menjaga kelestarian fungsi gambut,” kata Mentan Anton Apriyantono dalam suatu jumpa pers.

Peraturan baru tersebut lebih mengetatkan persyaratan lahan gambut yang boleh dibuka untuk kebun sawit. Kriterianya adalah berada pada kawasan budidaya; ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 meter; lapisan mineral di bawah gambut tidak boleh berupa pasir kuarsa dan tanah sulfat masam; tingkat kematangan gambutnya harus matang atau setengah matang; tingkat kesuburan tanahnya dalam kategori eutropik, yaitu tingkat kesuburan gambut dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang cukup untuk budidaya sawit sebagai pengaruh luapan ai sungai dan/atau pasang surut air laut.

Total luas lahan gambut yang ada di Indonesia, menurut Achmad Mangga Barani, Dirjen Perkebunan, sekitar 23 juta—25 juta ha. Berdasarkan ketentuan sebelumnya yang hanya mensyaratkan kedalaman gambut di bawah 3 meter, sekitar 3 juta—4 juta bisa dimanfaatkan untuk bertanam sawit. “Namun dengan peraturan baru ini, luasannya akan menciut agar bisa berkelanjutan,” ujar Dirjen pada kesempatan yang sama.

Relatif Mahal

Menurut Triyanto Sagisoemarto, konsultan perkebunan sawit, lahan gambut bisa dibilang pilihan terakhir setelah lahan mineral, berbukit, dan rawa. Alasannya, paling tidak ada lima.

Biaya pembukaan lahan lebih mahal dibandingkan di lahan darat/mineral. Hal ini terjadi akibat mahalnya biaya pembuatan infrastruktur, seperti parit, pintu air, penimbulan jalan, banyaknya jembatan, dan sulitnya alat berat bermanuver.

“Saat ini biaya pembukaan lahan di darat berkisar Rp5 juta—Rp7 juta per ha areal siap tanam, sedangkan untuk lahan gambut antara Rp8 juta—Rp12,5 juta per ha tergantung dari spesifikasi pekerjaan,” jelas lulusan MMA IPB 2007 ini. Pernyataan Tri Sawit, begitu sapaannya, dibenarkan Bachtiar Karim, Presdir Musim Mas Group yang mengatakan, biayanya 30%—40% lebih tinggi daripada di tanah mineral.

Kecuali itu, teknis operasionalnya relatif lebih sulit karena tanah gambut bersifat lembut dan labil sehingga mempersulit manusia maupun kendaraan dan alat berat beroperasi. Akibatnya, produktivitas tenaga kerja dan alat menurun sehingga biaya membengkak.

Gambut juga mengandung sifat yang kurang menguntungkan sebagai media pertumbuhan tanaman. Antara lain, pH sangat masam, ketersediaan hara makro N,P, K, Mg, Ca, dan hara mikro Zn, Cu, dan B rendah. Jadi, perlu perlakuan khusus seperti aplikasi pupuk mikro seperti CuSO4, ZnSO4 dan ekstra Boron.

Pohon kelapa sawit umumnya mudah roboh atau miring sehingga perlu sering dilakukan konsolidasi. Pengaturan ketinggian air dari permukaan lahan mutlak diperlukan untuk menjaga agar gambut tidak amblas, tidak terbakar pada musim kemarau, dan penyediaan air yang cukup bagi tanaman. 

Produksi tandan buah segar (TBS), lanjut pria asli Pangkalanbun, Kalteng itu, juga lebih rendah. Pengalaman di beberapa kebun kelapa sawit yang memiliki lahan gambut, produksi rata-rata 22—24 ton per ha per tahun, di bawah produksi lahan mineral yang 28—30 ton.

Lalu, masih adakah investor yang tertarik menggarap gambut? “Lahan gambut dilirik para investor karena dalam satu hamparan masih sangat luas dan umumnya masyarakat belum pernah memanfaatkan lahan tersebut sehingga akan mengurangi biaya ganti rugi lahan,” ujar Tri.

(sumber: agrina-online.com)

                                                                .